Jumat, 10 Oktober 2025

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-16/PJ/2025

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR

PER-6/PJ/2025 TENTANG PELAKSANAAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN

KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK KRITERIA

TERTENTU, WAJIB PAJAK PERSYARATAN TERTENTU, DAN PENGUSAHA

KENA PAJAK BERISIKO RENDAH, SERTA SPECIAL PURPOSE COMPANY

ATAU KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK

BERISIKO RENDAH


DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

 

Menimbang : a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, perlu menyesuaikan ketentuan mengenai pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak terhadap wajib pajak kriteria tertentu, wajib pajak persyaratan tertentu, dan pengusaha kena pajak berisiko rendah, serta special purpose company atau kontrak investasi kolektif sebagai pengusaha kena pajak berisiko rendah;

  b. bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2025 tentang Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak terhadap Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, serta Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah belum menampung kebutuhan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a sehingga perlu diubah;

  c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2025 tentang Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak terhadap Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, serta Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah;

   

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);

  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);

  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);

  4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 226, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6834);

  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.03/2015 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1692);

  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 514) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1018);

  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124 Tahun 2024 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1063);

  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2025 tentang Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Terhadap Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, serta Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif Sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah;


MEMUTUSKAN:

 

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-6/PJ/2025 TENTANG PELAKSANAAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK KRITERIA TERTENTU, WAJIB PAJAK PERSYARATAN TERTENTU, DAN PENGUSAHA KENA PAJAK BERISIKO RENDAH, SERTA SPECIAL PURPOSE COMPANY ATAU KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK BERISIKO RENDAH.

   

  Pasal I

  Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2025 tentang Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Terhadap Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, serta Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif Sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, diubah sebagai berikut:

  1. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 6 diubah dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:

   

  Pasal 6

  (1) Permohonan Pengembalian Pendahuluan, yang diajukan oleh: 

  a. Wajib Pajak Kriteria Tertentu;

  b. Wajib Pajak Persyaratan Tertentu; atau

  c. Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang melakukan kegiatan tertentu,

  diproses sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018.

  (2) Permohonan Pengembalian Pendahuluan yang diajukan oleh Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi permohonan Pengembalian Pendahuluan atas Surat Pemberitahuan atau pembetulan Surat Pemberitahuan pada Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum atau setelah Wajib Pajak ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.

  (2a) Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak merupakan Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan tercantum dalam:

  a. Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (8) huruf a angka 1, Pasal 10 ayat (5) huruf a angka 1, dan Pasal 16 ayat (5) huruf c angka 1 PMK-39/PMK.03/2018 yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak;

  b. Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (8) huruf a angka 2, Pasal 10 ayat (5) huruf a angka 2, dan Pasal 16 ayat (5) huruf c angka 2 PMK-39/PMK.03/2018 yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak yang membuat dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak;

  c. Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak berupa dokumen pemberitahuan pabean impor sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai ketentuan perpajakan atas impor dengan ketentuan telah dipertukarkan secara elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak;

  d. Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak berupa dokumen pemberitahuan pabean impor sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai ketentuan perpajakan atas impor yang diunggah oleh Wajib Pajak Pemohon dengan ketentuan mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara; dan/atau

  e. Dokumen surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai ketentuan perpajakan atas impor barang kiriman, dengan ketentuan:

  1. mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara;

  2. terdapat dalam sistem informasi pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; 

  3. telah dipertukarkan secara elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak; dan

  4. dibayarkan oleh Wajib Pajak Pemohon melalui penyelenggara pos terkait dengan impor barang kiriman.

  (3) Termasuk dalam pengertian Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (8) huruf b, Pasal 10 ayat (5) huruf b, dan Pasal 16 ayat (5) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak atas pelunasan Pajak Pertambahan Nilai yang semula mendapatkan fasilitas yang dapat dikreditkan.

  (4) Dalam hal kredit pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) serta ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (7) dan ayat (8), Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 16 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018, kredit pajak tersebut tidak diperhitungkan.

   

  2. Ketentuan ayat (5) Pasal 7 diubah dan di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 7 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a), sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

   

  Pasal 7

  (1) Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dapat diberikan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak perolehan real estat, dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.03/2015.

  (2) Terhadap permohonan Pengembalian Pendahuluan yang disampaikan oleh Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap:

  a. penetapan Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah masih berlaku;

  b. kelengkapan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai beserta lampirannya;

  c. adanya pengkreditan Pajak Masukan berupa Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan real estat pada Masa Pajak yang diajukan permohonan Pengembalian Pendahuluan;

  d. kebenaran penulisan dan penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dengan cara memastikan kebenaran penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan dalam penghitungan pajak; dan

  e. kebenaran pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang telah dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.

  (3) Termasuk dalam penelitian terhadap penetapan Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah masih berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi penelitian mengenai pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).

  (4) Penelitian terhadap kebenaran pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan terhadap kredit pajak yang dapat diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, meliputi:

  a. Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko tercantum dalam:

  1. Faktur Pajak yang telah diunggah ke sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak dan telah memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak;

  2. dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang telah dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan telah tervalidasi dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau

  3. tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak yang telah dilaporkan oleh pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

  dan/atau

  b. Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak Pemohon:

  1. telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara dalam hal pembayaran dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak; dan/atau

  2. telah tervalidasi dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak dalam hal pembayaran dengan menggunakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak.

  (4a) Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak merupakan Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan tercantum dalam:

  a. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak;

  b. Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 2 yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak yang membuat dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak;

  c. Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 2 berupa dokumen pemberitahuan pabean impor sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai ketentuan perpajakan atas impor dengan ketentuan telah dipertukarkan secara elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak;

  d. Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 2 berupa dokumen pemberitahuan pabean impor sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai ketentuan perpajakan atas impor yang diunggah oleh Wajib Pajak Pemohon dengan ketentuan mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara; dan/atau

  e. Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 2 berupa dokumen surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, dan/atau pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai ketentuan perpajakan atas impor barang kiriman, dengan ketentuan:

  1. mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara; 

  2. terdapat dalam sistem informasi pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

  3. telah dipertukarkan secara elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak; dan

  4. dibayarkan oleh Wajib Pajak Pemohon melalui penyelenggara pos terkait dengan impor barang kiriman.

  (5) Pajak Masukan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a) tidak diperhitungkan sebagai kredit pajak yang dapat diperhitungkan.

  (6) Hasil penelitian terhadap pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.

  (7) Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal Pajak:

  a. menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, dalam hal Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan terdapat kelebihan pembayaran pajak; atau 

  b. tidak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak dan memberitahukan kepada Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak.

  3. Setelah ayat (3) Pasal 11 ditambahkan 2 (dua) ayat yakni ayat (4) dan ayat (5), sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:

   

  Pasal 11

  (1) Terhadap permohonan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai:

  a. yang disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5); atau

  b. yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) atau ayat (2) atau Pasal 10 ayat (5),

  Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti dengan menerbitkan surat pemberitahuan tidak dapat diberikan Pengembalian Pendahuluan dan atas kelebihan pembayaran pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

  (2) Terhadap permohonan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang disampaikan oleh Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti dengan menerbitkan surat pemberitahuan surat keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak tidak diterbitkan dan atas kelebihan pembayaran pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

  (3) Dalam hal permohonan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan berdasarkan hasil pemeriksaan masih terdapat kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, berlaku ketentuan sebagai berikut:

  a. untuk kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak selain akhir tahun buku dan tidak terdapat kegiatan tertentu, kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya;

  b. untuk kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak selain akhir tahun buku dan terdapat kegiatan tertentu, kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai tersebut diberikan pengembalian; atau

  c. untuk kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai tersebut diberikan pengembalian.

  (4) Terhadap permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang berasal dari Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi Tahun Pajak 2024 yang menyatakan lebih bayar yang disampaikan oleh Wajib Pajak orang pribadi tertentu yang terdapat kesalahan pencantuman Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang yang dikreditkan sehingga seharusnya tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak:

  a. dianggap tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak;

  b. tidak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak dan diberitahukan kepada Wajib Pajak Pemohon; dan

  c. tidak ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

  (5) Wajib Pajak orang pribadi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan Wajib Pajak orang pribadi selain pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  a. hanya menerima penghasilan dan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir 1721-A1 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala semata-mata dari 1 (satu) pemberi kerja atau dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;

  b. tidak memiliki pengurang penghasilan bruto berupa zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dibayarkan tidak melalui pemberi kerja atau pembayar uang pensiun; dan

  c. kelebihan pembayaran pajak tersebut berasal dari penghitungan Pajak Penghasilan terutang menurut Wajib Pajak lebih kecil daripada Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang berdasarkan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21/26 Formulir 1721-A1 - Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Pensiunan yang Menerima Uang terkait Pensiun secara Berkala.

   

  Pasal II

  Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

   

 

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 13 Agustus 2025


 


DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


ttd.


BIMO WIJAYANTO


Selengkapnya dapat di unduh : PER No. 16 Th 2025

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2025

TENTANG

PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang : a. bahwa untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemudahan administrasi dalam pengenaan pajak penghasilan dari kegiatan usaha bulion dan impor emas batangan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemungutan pajak penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain;

  b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UndangUndang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain;

   

Mengingat : 1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);

  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);

  4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 225, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6994);

  5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845);

  6. Peraturan Presiden Nomor 158 Tahun 2024 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 354);

  7. Peraturan Presiden Nomor 158 Tahun 2024 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 354);

   


MEMUTUSKAN:

 

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN.

   

  BAB I

  KETENTUAN UMUM

   

  Pasal 1

  Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

  3. Pajak Penghasilan adalah pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

  4. Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

  5. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak pertambahan nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

  6. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

  7. Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.

  8. Uang Persediaan adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada bendahara pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari satuan kerja atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.

  9. Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

  10. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melakukan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, modal ventura, lembaga keuangan mikro, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

  11. Kegiatan Usaha Bulion adalah kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas yang dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan.

  12. Pihak Lain adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

  13. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

  14. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar seluruh pengeluaran negara.

  15. Collecting Agent adalah agen penerimaan meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi valas, lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya valas yang ditunjuk oleh kuasa bendahara umum negara pusat untuk menerima setoran penerimaan negara.

  16. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Negara melalui Collecting Agent.

  17. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

   

  BAB II

  PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN BARANG DAN KEGIATAN DI BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN

   

  Pasal 2

  (1) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu:

  a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:

  1. impor barang; dan

  2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan dan kontrak karya.

  b. Instansi Pemerintah berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang, yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan atau mekanisme pembayaran langsung;

  c. badan usaha tertentu meliputi:

  1. Badan Usaha Milik Negara;

  2. badan usaha dan Badan Usaha Milik Negara yang merupakan hasil dari restrukturisasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan

  3. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Indonesia Tbk, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya;

  d. badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;

  e. agen tunggal pemegang merek, agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;

  f. produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;

  g. badan usaha industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspornya;

  h. badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan; dan

  i. Lembaga Jasa Keuangan penyelenggara Kegiatan Usaha Bulion yang telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian emas batangan.

  (2) Dalam hal badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 3 melakukan perubahan nama badan usaha, badan usaha tertentu tersebut tetap ditunjuk sebagai pemungut pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

  (3) Dalam hal badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 3 tidak lagi dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, badan usaha tertentu dimaksud tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

  (4) Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.

  (5) Izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara.

   

  Pasal 3

  (1) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:

  a. untuk pemungutan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:

  1. impor:

  a) barang tertentu sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan angka pengenal impor;

  barang tertentu lainnya sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan angka pengenal impor;

  barang berupa kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai impor dengan menggunakan angka pengenal impor;

  barang berupa emas batangan, sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan angka pengenal impor;

  barang selain barang sebagaimana dimaksud dalam huruf a), huruf b), huruf c), dan huruf d) yang menggunakan angka pengenal impor, sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai impor;

  barang sebagaimana dimaksud dalam huruf c) dan huruf e) yang tidak menggunakan angka pengenal impor, sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor; dan

  barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari harga jual lelang;

  dan

  2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai uraian barang dan pos tarif/harmonized system oleh eksportir kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan dan kontrak karya, sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam pemberitahuan pabean ekspor;

  b. atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c, sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;

  c. atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:

  1. bahan bakar minyak sebesar:

  a) 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual bahan bakar minyak yang dibeli dari PT Pertamina (Persero) atau anak usaha PT Pertamina (Persero);

  b) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual bahan bakar minyak yang dibeli selain dari PT Pertamina (Persero) atau anak usaha PT Pertamina (Persero); dan

  c) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a) dan huruf b);

  2. bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai; dan

  3. pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;

  d. atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi:

  1. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen);

  penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen);

  penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);

  penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, tidak termasuk alat berat, sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen); dan

  penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen),

  dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;

  e. atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh agen tunggal pemegang merek, agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor, tidak termasuk alat berat, sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;

  f. atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur oleh badan usaha industri atau eksportir sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;

  g. atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan usaha sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai; dan

  h. atas pembelian emas batangan oleh Lembaga Jasa Keuangan penyelenggara Kegiatan Usaha Bulion yang telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

  (2) Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 merupakan nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk yaitu cost insurance and freight ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang kepabeanan.

  (3) Nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam pemberitahuan pabean ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 merupakan nilai free on board yang tercantum pada pemberitahuan pabean ekspor, termasuk pemberitahuan pabean ekspor yang nilai ekspornya telah dibetulkan.

  (4) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, yang belum melalui proses industri manufaktur oleh badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c yang merupakan badan usaha industri atau eksportir dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f.

  (5) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian emas batangan oleh badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c yang merupakan Lembaga Jasa Keuangan penyelenggara Kegiatan Usaha Bulion yang telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h.

   

  Pasal 4

  (1) Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22:

  a. impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;

  b. impor barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai berupa:

  1. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

  2. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia;

  3. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;

  4. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;

  5. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;

  6. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;

  7. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;

  8. barang pindahan;

  9. barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;

  10. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

  11 barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;

  12. vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program pekan imunisasi nasional;

  13. buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci, buku pelajaran agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya;

  14. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadangnya, serta alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;

  15. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadangnya, serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;

  16. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian yang akan digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum;

  17. peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan nasional, yang diimpor oleh Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia atau pihak yang ditunjuk oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia;

  18. barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya dilakukan oleh kontraktor kontrak kerja sama; dan

  19. barang untuk kegiatan usaha panas bumi;

  c. impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali;

  d. impor kembali, yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

  e. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf g, huruf h, dan huruf i berkenaan dengan:

  1. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b:

  a) yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);

  b) pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit Instansi Pemerintah;

  c) pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda pos atau pemakaian air dan listrik;

  d) pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana bantuan operasional sekolah, bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, atau bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pendidikan;

  e) pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras;

  f) pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan salinan surat keterangan yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu;

  g) pembayaran kepada rekanan pemerintah yang dapat menyerahkan salinan surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan; atau

  h) pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas pembelian barang yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam sistem administrasi pengadaan pemerintah, yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Pihak Lain;

  2. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

  3. pembayaran untuk:

  a) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos; dan

  b) pemakaian air dan listrik;

  4. pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk sampingan dari kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari:

  a) kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama;

  b) kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; atau

  c) trading arms kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama;

  5. pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya panas bumi;

  6. pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g yang jumlahnya paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dalam satu Masa Pajak;

  7. pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c; dan

  8. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rpl0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);

  f. penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, agen tunggal pemegang merek, agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya;

  g. pembelian gabah dan/atau beras oleh perusahaan umum badan urusan logistik; dan

  h. pembelian bahan pangan pokok dalam rangka menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan oleh perusahaan umum badan urusan logistik atau Badan Usaha Milik Negara lain yang mendapatkan penugasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

  (2) Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut: a. dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen); atau b. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.

  (3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinyatakan dengan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

  (4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sampai dengan huruf h dilakukan tanpa surat keterangan bebas.

   

  Pasal 5

  (1) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk.

  (2) Dalam hal pembayaran bea masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor.

  (3) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam terutang dan disetorkan bersamaan dengan saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas ekspor.

  (4) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c terutang dan dipungut pada saat pembayaran.

  (5) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d dan penjualan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e terutang dan dipungut pada saat penjualan.

  (6) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f terutang dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang.

  (7) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g dan pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf h terutang dan dipungut pada saat pembelian.

  (8) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian emas batangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i terutang dan dipungut pada saat pembelian.

   

  Pasal 6

  (1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh:

  a. importir yang bersangkutan; atau

  b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,

  (2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh eksportir yang bersangkutan ke Kas Negara melalui Collecting Agent.

  (3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf i, wajib disetor oleh pemungut pajak ke Kas Negara dengan menggunakan nomor pokok wajib pajak pemungut pajak.

  (4) Penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ke Kas Negara dilakukan melalui layanan atau kanal pembayaran yang disediakan oleh Collecting Agent sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.

  (5) Terhadap bukti penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan formal atas bukti penyetoran pajak tersebut sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan pabean ekspor dan dijadikan dasar pelayanan ekspor.

  (6) Pemeriksaan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau sistem komputer pelayanan.

   

  Pasal 7

  (1) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir, eksportir komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a berlaku sebagai bukti pemungutan pajak dalam hal telah mendapatkan validasi pembayaran pajak.

  (2) Dalam hal Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan secara digunggung, Pajak Penghasilan Pasal 22 yang disetorkan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi pihak yang dipungut dengan menggunakan dokumen berupa surat penetapan pembayaran bea masuk cukai dan/atau pajak, bukti pembayaran, consignment note, atau dokumen lain yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sebagai dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemotongan dan/atau pemungutan, sepanjang Pajak Penghasilan Pasal 22 yang terutang telah disetorkan ke Kas Negara.

  (3) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang disetorkan secara digunggung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku sebagai bukti pemungutan pajak.

   

  Pasal 8

  (1) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf i, wajib memungut dan membuat bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.

  (2) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 kepada Wajib Pajak yang dipungut.

  (3) Pembuatan bukti pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemotongan dan/atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai pembuatan bukti pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan.

  (4) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 22 kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan surat pemberitahuan masa Pajak Penghasilan unifikasi.

   

  Pasal 9

  (1) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan pelaporan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.

  (2) Pemungut pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 8 dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

   

  Pasal 10

  (1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i, bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.

  (2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f atas penjualan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas kepada:

  a. penyalur/agen bersifat final; dan

  b. selain penyalur/agen bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.

  (3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f atas penjualan pelumas bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.

   

  Pasal 11

  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor, ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam oleh badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan, atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tata cara penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

   

  Pasal 12

  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengecualian pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan huruf c dan ayat (2) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan kewenangannya.

   

  Pasal 13

  Ketentuan lebih lanjut mengenai barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1 butir a), barang tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1 butir b), barang berupa kedelai, gandum, dan tepung terigu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1 butir c), barang berupa emas batangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1 butir d), dan komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai uraian barang dan pos tarif/harmonized system sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 2 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

   

  BAB III

  KETENTUAN PERALIHAN

   

  Pasal 14

  Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  a. surat keterangan bebas pemungutan Pajak Penghasilan atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor yang telah diperoleh Wajib Pajak, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya surat keterangan bebas pemungutan Pajak Penghasilan atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor;

  b. atas permohonan surat keterangan bebas pemungutan Pajak Penghasilan atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak tetapi belum diterbitkan surat keterangan bebas sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan;

  c. atas surat keterangan bebas yang diterbitkan berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya surat keterangan bebas pemungutan Pajak Penghasilan atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor.

   

  BAB IV

  KETENTUAN PENUTUP

   

  Pasal 15

  Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2025.

   

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

   

   

   

   

 


 


 


Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 25 Juli 2025

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


SRI MULYANI  INDRAWATI

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 28 Juli 2025


DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,



ttd.


DHAHANA PUTRA


 

 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2025 NOMOR 549

 

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2025 NOMOR 78



Selengkapnya dapat diunduh di : PMK 51 Th 2025